Oleh: Bonnie Triyana
TAN Malaka adalah legenda. Pada 1950-an, di berbagai kota dan desa di Minangkabau, setiap orang tua menceritakan kepada anak-anaknya kehebatan Tan Malaka, yang konon bisa menghilang secara gaib dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang jaraknya terpaut ratusan kilometer, hanya dalam satu kedipan mata.
Mitos yang hadir di tengah masyarakat itu tak lain karena ”riwayat hidupnya bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan,” kata Dr Alfian dalam tulisannya, ”Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian”. Matu Mona alias Hasbullah Parinduri meminjam sosok Tan Malaka untuk karakter Pacar Merah dalam roman Pacar Merah. Muhammad Yamin menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan Washington yang merancang Republik Amerika Serikat jauh sebelum merdeka, atau dengan Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina sebelum revolusi terjadi. Rudolf Mrazek menyebut Tan Malaka sebagai manusia komplet. Ia begitu hebat: pemikir yang cerdas dan aktivis politik yang lincah.
Dengan sederet puja-puji itu, kenapa justru ia tidak mendapat posisi penting di republik ini?
Setelah melalui 20 tahun masa pengasingan di luar negeri, Tan Malaka memasuki kembali gelanggang politik saat situasi Republik tak menentu dan nasib para pemimpinnya di ujung tanduk. Soekarno dan Hatta disebut-sebut akan diadili oleh Sekutu dengan tuduhan penjahat perang kolaborator Jepang. Ketangkasan dalam mengatur strategi berpolitik telah membuat Soekarno terkesan dan menunjuk Tan Malaka sebagai pengganti presiden apabila sesuatu terjadi pada Soekarno. Kecurigaan untuk menerima kembali Tan Malaka dalam percaturan politik Republik ditunjukkan oleh sikap Hatta yang mendesak Soekarno menambah tiga orang lain dalam testamen politik itu: Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Koesoema Soemantri.
Ada dua kesempatan emas untuk tampil di panggung politik yang kemudian ditolaknya. Tan Malaka menolak tawaran Soekarno untuk sebuah jabatan tak resmi di luar kabinet pertama yang telah dilantik pada 4 September 1945. Pertimbangannya, status pemerintahan Republik masih belum jelas, masih berkolaborasi dengan Jepang. Kedua, menurut versi Tan Malaka, ia menolak tawaran Sjahrir cum suis untuk menjadi Ketua Partai Sosialis dengan alasan ”tidak ingin menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu”. Ia pun mengatakan, ”Belum sampai waktunya saya untuk keluar berterang-terangan memimpin sesuatu partai pula.”
Pengalaman hidup puluhan tahun diburu agen rahasia negeri-negeri imperialis membuatnya, ”Jadi orang yang selalu waspada dan tertutup,” kata penulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze. Dan ia lebih berhati-hati dalam bertindak untuk mewujudkan (mengutip Ben Anderson) ”khayalan-khayalan tertentu... dalam proses revolusi yang sedang berkembang itu”.
Tan Malaka ”bergairah” kembali ketika menyaksikan heroisme para pemuda dalam pertempuran Surabaya. Semangat itulah yang dilihatnya sebagai modal untuk menjalankan revolusi total menuju kemerdekaan seratus persen dengan kekuatan aksi massa. Dalam brosur Moeslihat yang ditulis tiga minggu setelah pertempuran, ia mengajak semua pihak bersatu melawan serangan musuh dari luar, membentuk laskar rakyat, membagikan tanah kepada rakyat jelata, memperjuangkan hak buruh dalam mengontrol produksi, membuat rencana ekonomi perang, dan melucuti senjata Jepang. Kepemimpinan yang kuat dan organisasi perjuangan yang solid adalah dua hal yang, menurut dia, sangat dibutuhkan rakyat Indonesia.
Gagasan-gagasan Tan Malaka mengundang simpati beberapa kelompok dari berbagai aliran yang kecewa terhadap kinerja kabinet Sjahrir. Pada 3 Januari 1946, untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Indonesia pada 1922, Tan Malaka menjadi pembicara utama dalam sebuah kongres besar Persatuan Perjuangan yang menaungi 141 organisasi perjuangan. Melalui Persatuan Perjuangan, Tan Malaka berhasil menyatukan sejumlah besar golongan yang berbeda keyakinan, taktik, dan garis politik. Dalam waktu singkat, Persatuan Perjuangan berhasil menjadi kelompok oposisi terkuat.
Program minimum yang dikemukakan Tan Malaka pada kongres pertama Persatuan Perjuangan mencakup tujuh inti pokok, antara lain berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen, melucuti tentara Jepang, menyita aset perkebunan milik Belanda, dan menasionalisasi industri milik asing yang beroperasi di Indonesia. Tujuh inti pokok adalah respons Tan Malaka terhadap kinerja Sjahrir yang terkenal akomodatif terhadap keinginan Belanda.
Tan Malaka terombang-ambing di antara permainan politik penguasa dan oportunisme politik yang menghinggapi sebagian besar pengikut Persatuan Perjuangan. Ia tak sempat mendidik kader-kadernya sendiri untuk berkomitmen tinggi pada perjuangan sebagai akibat terlalu lama berada di pengasingan. Sekelompok kecil anak muda di sekelilingnya lebih cenderung menampakkan diri sebagai simpatisan daripada memenuhi syarat untuk disebut sebagai kader.
Ketika Sjahrir mengumumkan Lima Program Pokok, yang kemudian disebut sebagai Lima Pokok Soekarno (isinya antara lain mengakomodasi tujuh inti pokok), beberapa organisasi anggota Persatuan Perjuangan—antara lain Pemuda Sosialis Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia, Barisan Tani Indonesia, dan Partai Katolik—mulai berbalik mendukung Sjahrir. Masyumi, yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan, pun menerima posisi Menteri Penerangan yang dijabat oleh M. Natsir pada kabinet Sjahrir II.
Intrik demi intrik disusun demi menjatuhkan Tan Malaka dari panggung politik yang baru dilakoninya. Atas tuduhan mengacau keadaan dan berbicara serta bertindak menggelisahkan, Tan Malaka ditangkap pada 17 Maret 1946. Selang empat bulan kemudian, beberapa gelintir anggota Persatuan Perjuangan juga ditangkap terkait dengan keterlibatan mereka dalam upaya kudeta yang gagal pada 3 Juli 1946. Insiden itu sekaligus menandai bubarnya Persatuan Perjuangan. Sjahrir menuduh Tan Malaka berada di balik aksi kudeta. Tapi, sampai pembebasannya dua tahun kemudian, tuduhan itu tak pernah bisa dibuktikan.
Selama dua setengah tahun masa penahanannya, Tan Malaka menulis beberapa buku, termasuk otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara. Praktis ia tak bisa turut mewarnai jalannya revolusi Republik yang telah dirancangnya sejak 1925 seperti dalam karyanya, Naar de Republiek Indonesia. Tan Malaka dibebaskan pada September 1948 semasa pemerintah Perdana Menteri Hatta. Harry A. Poeze berpendapat pembebasan itu tak lepas dari taktik politik Hatta untuk mengimbangi kekuatan Musso yang baru saja datang dari Moskow pada Agustus 1948. Sekelompok kecil pengikut Tan Malaka yang dipimpin dr Muwardi telah terlebih dulu mendirikan Gerakan Revolusi Rakyat untuk menandingi gerak politik Front Demokrasi Rakyat pimpinan Amir Sjarifuddin yang di kemudian hari bergabung dengan Musso.
Keluar dari penjara, Tan Malaka mendirikan Partai Murba untuk merealisasi gagasan-gagasannya. Tapi partai ini terlalu kecil dengan jumlah pendukung yang terbatas dan kurang lincah bermanuver di tengah iklim politik yang fluktuatif. Ia kembali menjadi orang yang bergerak di balik layar dengan tak menjadi Ketua Partai Murba. Tan Malaka lebih memilih menggalang kekuatan tentara dan rakyat di Kediri, Jawa Timur, untuk menghadapi Agresi Belanda II berdasarkan bukunya, Gerilya Politik Ekonomi.
Ada dilema yang dihadapi Tan Malaka yang menyebabkan dia tak menjadi seseorang dalam arus utama revolusi pada republik yang baru ini. Ia seorang tokoh terkenal, sekaligus tidak terkenal. Namanya dikenal dari karya-karya yang ia tulis semasa berada di luar negeri. Tapi nama Tan Malaka lebih banyak diperbincangkan sebagai sosok misterius yang dipenuhi mitos. Ia tak lagi memiliki relasi politik yang luas dan erat baik pada kelompok ”kolaborator”, terlebih pada kelompok ”bawah tanah” pimpinan Sjahrir.
Aktor-aktor utama di panggung politik Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan telah terisi oleh mereka yang datang dari dua atau tiga generasi di bawahnya. Kemunculan Tan Malaka yang tiba-tiba di masa-masa awal kemerdekaan, legenda, bahkan mitos tentang kehebatannya, dan karier politik di masa lalu yang cemerlang tak banyak membantunya memenangi pertarungan politik di era revolusi.
Pembungkaman Tan Malaka, menurut Ben Anderson, telah mengakhiri setiap harapan yang pernah ada bahwa Indonesia akan memilih jalan perjuangan daripada jalan diplomasi. Tan Malaka menawarkan sebuah jalan Merdeka 100 Persen, tapi itu mustahil terjadi dalam gelombang revolusi yang dahsyat saat itu. Dan hanya ia sendiri yang tahu betul apa yang harus dilakukannya untuk mewujudkan cita-cita itu.
Kalau kesuksesan berpolitik diukur dari seberapa besar kekuasaan yang diperoleh, bukan di sana tempat Tan Malaka. Bukan pula pada pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang tak mencantumkan namanya, kendati dia pahlawan nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1963.
Kesuksesan Tan Malaka terletak pada sikap konsisten dalam berpolitik dan orisinalitas pemikirannya yang berpihak kepada rakyat. Pentingnya ilmu pengetahuan untuk membangun masyarakat, seperti yang ditulisnya dalam Madilog dan beberapa brosurnya yang menganjurkan kemandirian bangsa, menjadi relevan bila melihat kondisi bangsa dewasa ini.
Bonnie Triyana – Sejarawan-cum-wartawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.